Dreams are renewable. No matter what our age or condition, there are still untapped possibilities within us and new beauty waiting to be born.

-Dale Turner-

Jumat, 14 November 2014

Married? Are you sure?

Apa yang ada dipikiran kalian tentang "menikah"? sesuatu yang menakutkan atau yang paling ditunggu? Mungkin kalau bagi kalian kalian yang wanita, sebagian besar dari kalian menikah adalah impian yang paling indah yang pernah kalian punya. Impian tentang membangun sebuah keluarga sendiri dan hidup happily ever after seperti yang sering kalian tonton di disney channel atau yang kalian baca pada dongeng-dongeng masa kecil memang sangat menggiurkan dahaga jiwa terkhusus bagi kalian wanita-wanita yang berumur 21 tahun keatas. Atau mungkin juga menikah menjadi "Escape Plan" bagi orang-orang yang merasa hidupnya sudah terlalu penat untuk ditinggali sendiri. Is there always a reason behind a married things?

Di lingkungan sekitar ku di kampus dulu, banyak dari teman-teman wanita ku yang selalu berbicara tentang impian mereka tentang menikah. Ya intinya mereka mau segera menikah. Pada saat itu aku hanya tertawa mendengar impian-impian teman-teman disney girl ku ini. Pada saat itu aku berfikir, "Hellow, kita msih terlalu muda untuk menikah kaleeee. Emang udah gak ada impian lain yang mau dikejar?" Hingga pada satu waktu aku  mendapat beberapa kali undangan pernikahan dari teman-teman SMP ku dan akhirnya akupun juga mengetahui ternyata memang sudah banyak teman-teman SMP ku dulu yang sudah menikah dan mempunyai anak. Aku berfikir. Kaget awalnya. Kaget ternyata memang Impian menikah untuk orang seumuran aku bukan lagi hanya sekedar impian. Mereka sudah mulai untuk membuktikannya. Sampai pada pemikiranku berujung pada satu pertanyaan "Apakah menikah se-sederhana mengimpikannya"?
Ah, selain berita tentang teman-teman ku yang sudah menikah dan mempunyai anak, ada juga berita menyedihkan,diantaranya mereka yang sudah berpisah dengan istri/suami mereka, atau ada beberapa yang sudah menikah namun masih "Flirting" dengan yang lain. Jadi, apa artinya menikah bagi mereka jika mereka tidak bisa mempertahankan impian "Hapily ever after" yang mereka percayai?

Untuk aku pribadi, aku tidak mempunyai impian tentang menikah sama sekali. Impian "Hapily ever after" ku justru berujung apabila aku hidup dengan anak ku kelak. Ya. Aku suka sekali dengan anak kecil. Sering aku berfikir kalo aku gak penting gimana nanti aku akan menikah, yang penting aku punya anak. Hahahaha konyol memang. Bagaimana caranya aku punya anak jika tidak menikah, bukan?
Konsep pernikahan menurutku itu sangat menyeramkan. Bagaimana 2 orang bisa secara konsisten menjaga impian-impian mereka tentang pernikahan dan menjaga cinta mereka hingga seumur hidupnya? Bukankah cinta mempunyai masa kadaluarsanya juga? Ah, jangan bilang kalian tidak setuju dengan pertanyaanku tadi, kecuali kalian memang terlalu naif untuk mengakuinya.
Bukan karena latar belakang keluargaku yang memang kurang beruntung dalam menjaga impian mereka tentang pernikahan atau hubunganku yang selalu kandas yang membuat aku menyatakan menikah itu menyeramkan. Justru karena semakin lama, dunia semakin tidak dapat dimengerti dengan akal sehat, termasuk pernikahan.

Aku pernah berkhayal, mungkin nanti aku akan mengadopsi anak atau lebih ekstrimnya aku akan melakukan sperm-donor agar aku mempunyai anak. Tapi taukah kau? Bagaimanapun juga aku hanyalah seorang wanita. Wanita tetaplah wanita dengan segala kerapuhan dan keinginannya untuk merasa terlindungi. Aku gak pernah tahu sampai kapan keraguan ku tentang konsep menikah tertanam didalam pikiranku. Mungkin selamanya, atau mungkin aku hanya butuh seseorang yang bisa menghancurkan logika ku yang satu itu. Ah, aku teringat, Jatuh Cinta adalah alat penghancur luar biasa yang bisa memporak-porandakan semua logika yang telah tersusun sangat rapih dipikiranmu. Menurutku, kita hanya akan "Jatuh Cinta" sekali dalam hidup kita. Dan sayangnya, aku sudah pernah Jatuh Cinta.

#Day3 #Latepost #30DaysOf1PostADayChallenge

Kamis, 13 November 2014

Me vs Change Effect

Change. Change atau perubahan. Satu kata yang bisa membuat dunia berputar tidak lagi sesuai porosnya, atau membuat sang waktu menjelma menjadi sesosok santa clause. Tapi yang aku tau, perubahan tidak serta merta berdiri sendiri. Dia punya pengikut. Aku menyebutnya efek. Efek dari perubahan yang terjadi. Dan aku benci itu.
Aku tahu perubahan itu bagai roda dalam kehidupan manusia. Kita bisa dikatakan hidup, kalo kita terus menjalankan roda kita. Salah satunya menerima dan melakukan perubahan. Begitu, bukan? Ah, manusia.. mereka memang pandai berteori. Salah satunya aku.

Belakangan ini aku dihadapkan dalam satu situasi yang mengharuskan aku menerima perubahan. Salah satu sahabat ku yang selama kurun waktu kurang lebih 5 tahun selalu menjadi Partner-anytime-anywhere ku akhirnya memiliki pasangan. Bahagia? Jelas. Aku sangat bahagia atas perubahan statusnya. Aku sangat bahagia karena akhirnya ada pria hebat yang bisa melihat kehebatan dari sosok sahabat ku ini. Sampai pada satu waktu, sang efek datang menghantui ku. Aku tau, setelah ini partner anytime-anywhere ku akan berubah menjadi partner sometimes-somewhere saja. Aku tidak bisa lagi mengandalkannya untuk segala kerandomanku di setiap harinya. Aku tidak bisa lagi dengan egois meminta aku tetap jadi prioritasnya dibanding lelaki-lelaki yg mendekatinya.
Kemudian sang efek menghadiahi ku sebuah rasa. Hampa. Aku merasa lebih sangat baik baik saja hidup tanpa pacar dibanding tanpa sahabatku ini. Keterbiasaan ku akan selalu berada di sisi sahabatku ini menjadi candu.
Candu yang aku pun bingung bagaimana cara menyudahinya. Aku tidak siap dengan semua efek perubahan yang terjadi. Entah karna memang aku benci akan sang efek, atau karna memang aku hanya takut 'sendirian'.

Sampai pada akhirnya aku menyadari, bahwa sebenarnya yang aku takutkan itu bukan perubahan maupun efeknya. Aku hanya tidak tahu bagaimana caranya keluar dari zona-nyaman ku. Aku begitu takut keluar dari zona-nyaman ku sehingga aku mencari kambing hitam untuk menutupinya.
Oh well, kalian bisa memanggil ku cemen, pengecut, atau apapun itu.
Memang benar aku takut untuk keluar dari zona nyamanku yang satu ini. Namun satu hal yang aku ingat, aku tidak takut untuk mencoba.

#day2 #30DaysOf1PostADayChallenge

Rabu, 12 November 2014

#30DaysOf1PostADayChallenge

Oh well, setahun lebih sejak postingan blog terakhir, agaknya membuat gue jadi sedikit kaku untuk bercerita. Entah bercerita, atau sekedar mengungkapan apa yang di kepala atau di hati. Antara gue menganggap cerita gue tidak menarik untuk diceritakan atau gue yang kembali tidak tertarik untuk menceritakan hal hal yang bersarang di otak dan hati gue.

Sampai pada akhirnya gue akhir akhir ini mulai baca lagi blog orang orang. gak sedikit dari mereka hanya menceritakan sebagian kejadian kecil yang mereka alami atau sebagian imajinasi mereka. And I was like “sesimple ini bikin cerita?”

So here I go, with my new challenge with my bestiest, called #30Daysof1PostADayChallenge. For the next 30 days which is until 12 Desember 2014 I will write any post on my blog. Any. Bisa dari hal – hal yang (menurut gue) penting sampe yang (menurut gue) sampah sekalipun.

See you on my next post ;)
#day1 #30DaysOfPostADayChallenge